ini bermula ketika korban bernama Ardiansyah, yang berasal dari Desa Tawali, Kecamatan Wera, tanggal 30 November 2024 sedang mengendarai sepeda motornya dari Rumahnya Desa Tawali menuju ke desa Rangga Solo Kecamatan Wera untuk menjemput kakaknya bernama Sahrul yang telah keroyok oleh sekelompok preman yang berada di desa Rangga Solo. Begitu korban sampai didepan Rumah Pelaku di desa Rangga Solo, Korban yang ingin menjemput Kakaknya, langsung dihadang oleh pelaku dengan menggunakan parang, lalu korban dibacok pada bagian kepalanya dengan menggunakan parang dan ditusuk pada bagian pahanya dengan menggunakan tombak oleh sekelompok preman tersebut. Akibat dari tindakan tersebut, korban mengalami luka serius pada pada bagian kepala dan pahanya.
Korban lalu melaporkan kejadiannya kepada pihak kepolisian Polsek Wera tanggal 30 November 2024. Tetapi hampir satu bulan terhitung sejak laporan itu masuk ke Polsek Wera tidak ada sedikitpun kemajuan atas perkembangan kasusnya. Akhirnya Korban melaporkan kasusnya kepada Polres Bima Kota Tanggal 05 Desember 2024. Seiring berjalannya waktu ternyata pihak Polres Bima Kota malah justru bersekongkol secara diam-diam dengan Pihak Pelaku. Hal ini dibuktikan dengan cara penanganan hukum yang dilakukan oleh Polres Bima Kota yang dengan sengaja telah secara meyakinkan memperumit dan memperpanjang proses penanganan hukumnya dalam penetapan tersangka. Korban selalu datang untuk menanyakan perkembangan kasusnya, namun pihak Polres Bima Kota malah selalu memberikan keterangan jika kasus tersebut masih dalam proses penyelidikan. Padahal telah secara jelas alat buktinya sudah memenuhi minimum dua alat bukti sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 183 KUHAP, yaitu alat bukti berupa keterangan saksi/korban ditambah alat bukti Surat berupa Visum Et Repertum sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 184 KUHAP yang seharusnya dengan alat bukti tersebut Pelaku bisa ditetapkan sebagai tersangka.
Pada tanggal 15 Januari 2025, hal yang paling fatal dan dengan sikapnya yang begitu arogan diperlihatkan oleh seorang KBO Resesre Kriminal Polres Bima Kota bernama Wayan yang katanya sebagai polisi yang melayani masyarakat, menyambut korban hanya sampai dipintu masuk sambil berdiri dengan cara yang begitu angkuh, memberikan penjelasan kepada korban yang pada saat itu telah di dampingi oleh penasehat hukumnya membuat keterangan yang tidak jelas dan sangat inkostitusional. Ketidakjelasannya
Sangat terlihat pada saat membicarakan bahwa katanya kasus korban tersebut sudah ditangani sesuai dengan prosedural hukum yang berlaku dan telah dilakukan gelar perkara. Katanya kemarin kita telah melakukan gelar perkara Penyelidikan.
Padahal tidak ada yang namanya gelar perkara penyelidikan jika KBO Resesre Kriminal Polres Bima Kota bernama Pak Wayan membaca baik-baik perkap nomor 6 tahun 2019, tentang penyidikan tindak pidana pasal 31 kalau gelar perkara itu dilakukan dengan dua cara yaitu gelar perkara biasa dan gelar perkara khusus. Adapun yang dimaksudkan dengan gelar perkara biasa dalam pasal 32 yaitu untuk, menentukan tindak pidana atau bukan, menetapkan tersangka, penghentian penyidikan, pelimpahan perkara dan pemecahan kendala penyidikan. Sementara gelar perkara khusus sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 33 yaitu untuk, merespons pengaduan masyarakat dari pihak yang berperkara dan/atau penasihat hukumnya setelah ada perintah dari Atasan Penyidik, membuka kembali Penyidikan berdasarkan putusan praperadilan dan menindaklanjuti perkara yang menjadi perhatian masyarakat.
Maka berdasarkan kategori yang meliputi gelar perkara sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 32 Jo 33 Perkap nomor 6 tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana diatas tidak ada satupun poin yang menyatakan gelar perkara penyelidikan, sebagaimana yang disampaikan oleh KBO Resesre Kriminal Polres Bima Kota bernama Pak Wayan yang katanya sudah menghafal dan memahami secara keseluruhan Perkap tersebut tapi tidak tahu hal-hal yang meliputi gelar perkara. Ini artinya dia telah secara meyakinkan mencari-cari alasan untuk sengaja tidak memberikan perhatian pada perkara tersebut. Bagaimana mungkin mereka bisa dipercaya untuk menegakkan hukum kalau aturan hukumnya sendiri mereka tidak tahu, lalu apa yang ditegakkan? Mungkin bukan lagi hukum yang ditegakkan melainkan kepentingan. Jika kepentingan telah bersuara maka hukum dan keadilan akan bungkam.
Tanggal 16 Januari 2025, Korban mendapatkan kado spesial yang diberikan oleh Polres Bima Kota berupa surat pemberitahuan dimulainya Penyidikan (SPDP) langsung dua lembar, tetapi ngawurnya dalam surat SPDP tersebut diberitahukan bahwa laporan polisi masuk tanggal 13 Januari 2025 padahal laporan yang masuk di Polres Bima Kota itu terjadi pada tanggal 05 Desember 2024. Bagaimana mungkin laporan Polisi keluar secara bersamaan tanggal 13 Januari 2025 dengan Surat pemberitahuan dimulainya penyidikan. Padahal sebelum keluar surat SPDP maka seharusnya yang dikeluarkan lebih dulu adalah surat perintah penyelidikan, sebab sifat fungsional dari surat perintah penyelidikan tersebut dijadikan sebagai legitimasi hukum untuk mencari dan mengumpulkan bukti tapi prosedur semacam ini justru dilompati oleh pihak Polres Bima Kota. Dan lebih lucunya lagi pihak Polres Bima Kota ternyata telah menerbitkan surat perintah dimulainya penyidikan yang menduga korban melakukan tindak pidana pengancaman sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 335 KUHP. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan dari Polres Bima Kota, korban justru mendapati dirinya ditetapkan sebagai terduga melakukan tindak pidana pengancaman. Korban merasa sangat bingung dan terkejut dan Ia tidak mengerti bagaimana bisa ia menjadi korban penganiayaan sekaligus menjadi terduga dalam perkara tindak pidana pengancaman sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 335 KUHP.
Jika hukum telah dijadikan sebagai alat permainan oleh aparat penegak hukum dan aparat kepolisian telah menempatkan hukum sebagai pak turut bagi kepentingan tertentu maka sudah saatnya bagi rakyat kecil untuk menyatakan “turut berduka cita atas wafatnya keadilan ditangan polisi, turutk berduka cita pula atas hilangnya fungsi polisi yang melayani, mengayomi, melindungi dan menegakkan hukum”.